Source: http://germo-ndeso.blogspot.com/2012/02/cara-membuat-tanggal-posting-blog.html#ixzz3UL5VutBD WISATA SERBA-SERBI LEMBAHKLUATLC: MAKALAH RESOLUSI

Sunday, 15 March 2015

MAKALAH RESOLUSI

Resolusi Konflik Tradisional Di Ambon (Maluku) DenganMekanisme Pela
“Sistem budaya Pela-Gandong merupakan ikatan persahabatan dan persaudaraan yang diaktualisasikan dalam sapaan-sapaan kekerabatan, seperti Nyong Pee, Nona Pee, Gandongee, Bongsoee, ataupun aktivitas tolongmenolong dalam keadaan aman ataupun kesusahan,” ujar S.H. Maelissa, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku, dalam makalahnya, “Pela dan Gandong sebagai Bentuk Kearifan Lokal di Maluku”.
Menurut Maelissa, larangan dan kewajiban di antara warga yang ber-pela dan ber-gandong itu dipelihara dan ditaati dengan penuh tanggung jawab karena didasari adanya penghormatan atas janji dan sumpah leluhur yang telah mengikat dirinya, keluarga, bahkan negeri. Pada waktu-waktu tertentu ada Upacara Panas Pela atau Panas Gandong, yaitu upacara adat perekat hubungan persaudaraan, yang berusaha terus menghidupkan ingatan-ingatan tentang kebersamaan di antara mereka.
Khususnya Ambon, Uliase, dan Seram mengenal jenis Pela Tuni dan Gandong. Pela Tuni diartikan sebagai “Pela Murni” atau Pela sebenarnya. Pela Tuni terbentuk dengan mengambil sumpah persaudaraan melalui minum darah dari pemimpin-pemimpin negeri/desa. Melalui upacara itu, kedua belah pihak menjadi saudara sedarah dan diharuskan saling membantu seolah-olah mereka lahir dari satu ibu.

Sejarah Sistem Kekerabatan Maluku
Sebagian kekerabatan antardesa bermula sejak lama, jauh sebelum bangsa Eropa menduduki Kepulauan Maluku untuk mencari cengkeh dan pala. Sistem ini kemungkinan dimulai sebagai suatu sistem kekerabatan dalam konteks pengayauan, tetapi selama Portugis dan Belanda merebut wilayah ini pada abad ke-16 dan ke-17, sistem ini dimanfaatkan untuk menahan pengacau asing, dan untuk saling membantu jika perlu. Sebenarnya, ada beberapa bagian pakta perjanjian pela yang ada saat ini diciptakan pada masa itu, yang sering mengikat desa-desa Muslim bersama dengan desa-desa (yang baru menjadi) Kristen.Banyak pela baru yang kemudian timbul saat perjuangan berat melawan penjajahan Belanda, yaitu perang Pattimura pada awal abad ke-19.Setelah perjuangan ini berakhir dan wilayah ini mengalami tekanan ekonomi, pela dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh akses terhadap bahan pangan di mana banyak desa Ambon-Lease menetapkan ikatan dengan desa-desa yang kaya sagu di Seram Barat.Pada tiga dekade pertama pemerintahan Indonesia, pela masih sangat kuat, terutama sebagai pembawa identitas Maluku dalam negara kesatuan Indonesia dan juga untuk pembangunan desa lebih lanjut tanpa bantuan pemerintah.
Distribusi fakta Perjanjian Pela
Kekerabatan pela dibuat antara dua desa atau lebih dan, dalam beberapa kasus yang jarang, antara suku/marga dari desa-desa yang berbeda.Kecuali di pegunungan Leitimor di Pulau Ambon, di mana beberapa desa-desa yang bertetangga diikat dalam pakta perjanjian tersebut, desa sekutunya dalam ikatan pela biasanya tinggal jauh terpisah dan sering terletak di pulau yang berbeda.Hampir semua aliansi pela berlangsung antara desa-desa Kristen tetapi sejumlah lainnya antara desa-desa Kristen dan Muslim, sehingga jangkauannya melampaui batas-batas agama.Pela yang benar-benar Muslim tidak ada.Kebalikan dari Kristen yang menggunakan kesamaan adat daripada kesamaan agama mereka untuk mendirikan ikatan formal antara desa-desa, Muslim menempatkan diri seluruhnya sebagai bagian dari masyarakat Islam (ummat) sehingga tidak merasa perlu untuk lebih memperkuat ikatan di antara mereka.Namun, ada juga beberapa pela, yang seluruhnya berdasarkan ikatan keturunan keluarga, melibatkan beberapa desa Kristen dan Muslim dan dalam kasus ini desa-desa Muslim yang terlibat saling menganggap dirinya sebagai mitra pela.
Tipe Pela
Jumlah ikatan kekerabatan setiap desa tidak terbatas, tetapi kebanyakan desa hanya memiliki satu atau dua fakta perjanjian, dan beberapa desa kampung tradisional di sepanjang pantai bagian dalam Pulau Ambon, dan juga beberapa desa yang lebih baru, tidak memilikinya sama sekali. Jika sebuah desa memiliki ikatan ganda, setiap pakta perjanjian diperlakukan sebagai unit terpisah.Pada dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) (pela gandong atau bungso) dan (3) pela tempat sirih. Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain. Jenis pela kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Hal ini dapat mengarah pada kesimpulan sebuah pakta perjanjian antara desa-desa yang memiliki asal-usul suku/marga yang sama. Pada tahap ini, tali kekerabatan diteruskan kepada setiap orang di desa-desa yang kemudian bersekutu. Pela tempat sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan. Untuk semua maksud dan tujuan, pela keras dan pela keturunan berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya dihasilkan melalui sebuah sumpah kuat yang disertai dengan sanksi kutukan bagi setiap calon pelanggar perjanjian. Para peserta kemudian meminum ramuan campuran tuak dan darah yang diambil dari pemimpin dari dua kelompok, setelah pencelupan senjata-senjata dan benda tajam lain ke dalamnya. Benda-benda ini akan melawan dan membunuh setiap pelanggar. Pertukaran darah menandakan ikatan persaudaraan tersebut.Oleh karena itu pela dipahami sebagai suatu ikatan persaudaraan yang abadi dan tak dapat diganggu gugat antara semua orang dari desa-desa yang menjadi anggotanya.
Fungsi Modern Pela
Ada empat ide utama yang mendasari pela, yaitu: (1) desa-desa dalam hubungan pela saling membantu dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam seperti gempa bumi, gelombang pasang, atau kelaparan); (2) jika dibutuhkan, satu desa mitra ini harus membantu yang lain dalam menangani proyek besar masyarakat, seperti membangun gereja, mesjid dan sekolah; (3) saat seseorang mengunjungi desa pela lain, pengunjung ini berhak mendapat makanan dan mereka tidak perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian sehingga mereka dapat membawanya pulang; dan (4) semua anggota desa yang termasuk dalam hubungan pela diperlakukan sebagai satu darah; oleh sebab itu, perkawinan antara anggota pela disebut sebagai perkawinan sedarah. Setiap pelanggaran terhadap peraturan ini dihukum berat oleh para leluhur yang mendirikan lembaga ini. Hukuman ini berupa datangnya penyakit, kematian dan kesialan lain yang akan menimpa para pelanggar, atau bahkan terhadap anak-anaknya. Mereka yang melanggar tabu perkawinan, jika tertangkap akan diarak keliling desa-desa masing-masing dengan hanya mengenakan daun kelapa, dan warga desa memperlakukan mereka dengan kejam. Sebaliknya, pela tempat sirih dihasilkan tanpa sumpah dan hanya bersama-sama bertukar dan mengunyah sirih, suatu kebiasaan tradisional dalam membangun hubungan persahabatan antara orang asing.16 Pela tempat sirih kemudian menjadi pakta perjanjian hubungan ersahabatan.Perkawinan diijinkan terjadi di antara mereka dan pemberian bantuan dilakukan sukarela, dan tidak diberikan sanksi oleh leluhur.
Upacara Pembaharuan Pela
Untuk menjaga agar pela tetap hidup, dan untuk membuat kaum muda peduli tentang tanggung jawab mereka, dilakukan pembaharuan secara berkala melalui upacara bikin panas pela.Pada kesempatan ini, penduduk semua desa anggota pela berkumpul menjadi satu sampai selama satu minggu untuk merayakan kesatuan mereka dan mempembarui aruan sumpah mereka, yang disertai pesta makan, bernyanyi, dan menari.
Peran Penting Pela pada Masa Pasca Kemerdekaan
1.      Pela sebagai Kekuatan Pemersatu
Seperti diuraikan di atas sistem pela ini masih berjalan sangat baik di Maluku Tengah sejak akhir Perang Dunia II sampai sekitar tahun 1980-an. Usaha Pemerintah Indonesia untuk melakukan sentralisasi politik dan penyeragaman budaya sejak kemerdekaan menimbulkan rasa kekhawatiran akan hilangnya identitas etnis masyarakat Ambon yang khas. Kalangan Muslim maupun Kristen menjadi sangat sadar akan ancaman berlanjutnya polarisasi agama terhadap kesatuan Muslim- Kristen. Sementara politikus di kota berjuang memperebutkan kemewahan yang ditawarkan oleh sistem baru, masyarakat di tingkat bawah bereaksi terhadap ancaman ganda yaitu kehilangan identitas dan perpecahan sosial dengan memperbarui peranan pela, di mana jaringan yang erat dan menjangkau seluruh pulau dan batas agama yang secara tradisional selama ini merupakan pendorong utama integrasi. Insentif ekonomi yang semula ada, yang didasarkan pada prinsip saling membantu, lebih membantu menguatkan hubungan antaragama.
Banyak kebiasaan dan kelembagaan lain di Maluku Utara tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia, tetapi sistem kekerabatan pela merupakan suatu keunikan sehingga berkembang menjadi satu ciri identitas inti, menyimbolkan identitas orang Ambon maupun kesatuan Muslim-Kristen. Oleh karena itu pela memuat aura kesucian di kalangan masyarakat umum, terutama di desa-desa.Sementara sebagian besar adat tradisional banyak yang runtuh, pela mengalami kebangkitan besar dan menjadi lembaga adat yang batasan dan peraturannya paling dipatuhi. Banyak kalangan intelektual di kota, dan bahkan beberapa politikus, juga memegang nilai-nilai pela dalam menjaga perangkat otonomi budaya dan kesatuan etnis.
2.      Intensitas Hubungan Muslim-Kristen
Akibat berbagai perkembangan di atas, sejumlah pela persahabatan baru antara Muslim dan Kristen dibentuk selama dekade ini, dengan alasan untuk mempererat ikatan kerjasama saling menguntungkan dan tanggung jawab antara dua kelompok agama, dan mengurangi potensi perpecahan sampai minimal. Dalam kasus yang sama, ikatan pela yang ada, yang diciptakan beberapa abad yang lalu, kembali diaktifkan setelah lama sekali terhenti, dan/atau semakin intensif jika pela masih aktif, melalui upacara pembaharuan pela untuk menguatkan lagi kesatuan dan identitas orang Ambon.
Karena adanya sistem pela, setiappotensi permusuhan antara orang Ambon Muslim danKristen dipertahankan pada tahap minimum, berlawanan dengan konflik saling bunuh yang umum di antara penganut kedua agama ini di seluruh dunia.Pada tingkat praktis, ada peningkatan ekonomi yang jelas dengan banyaknya gereja, mesjid dan sekolah yang dibangun dengan bantuan sukarela anggota pela yang menyumbangkan tenaga kerja, bahan-bahan bangunan, uang dan/atau bahan pangan yang memungkinkan sehingga semua dapat berjalan tanpa bantuan pemerintah.Setelah proyek selesai, anggota pela datang untuk meresmikannya, dan, dalam kasus pembangunan gereja atau mesjid, baik Kristen dan Muslim turut hadir bersama untuk acara tersebut.
Ketuhanan Yang Maha Esa: Agama Etnis Masyarakat Ambon
1.      Sinkretisme Kepercayaan Pribumi, Muslim, dan Kristen
Asas umum adat orang Ambon Islam dan Kristen menjadikan kedua agama kelihatan sangat mirip dan mendukung untuk mengaburkan perbedaan yang ada di mata masyarakat Ambon.Karena tidak menganggap penting dogma dan ideologi yang menjadi sumber permusuhan historis antara Muslim dan Kristen di manapun maka masyarakat Ambon relatif tidak dipengaruhi olehnya, atau bahkan mengabaikannya dan tanpa prasangka merasa, dan menekankan, banyaknya kemiripan antara kedua agama. Penekanan pada kemiripan ini mengarah pada usaha mencapai keharmonisan, sehingga tercipta semacam sinkretisme “horisontal” yang longgar antara Islam dan Kekristenan yang saling kontradiksi tetapi berhubungan dengan sinkretisme “vertikal” yang dihasilkan dari usaha-usaha dalam mencapai keharmonisan antara sistem kepercayaan tradisional dan antara kepercayaan ini dengan Islam dan Kekristenan.
Masyarakat Ambon percaya bahwa mereka semua berasal dari gunung yang sakral di Pulau Seram, bernama Nunusaku.Suatu pertikaian besar terjadi dan penduduk asli terpecah dan menghuni Maluku Tengah.Setelah datangnya dua agama dunia, surga bagi masyarakat Muslim dan Kristen dipindahkan ke G. Nunusaku, dan tempat ini ditetapkan sebagai pusat asal-usul masyarakat Ambon. Upu Lanite, dewa pencipta tradisional, akhirnya disamakan dengan Allah, nama yang digunakan oleh kedua kelompok untuk Tuhan dalam Alquran dan Tuhan dalam Alkitab. Jadi, hanya ada satu Tuhan di mana Islam dan Kekristenan dilihat sebagai dua alternatif tetapi sama-sama menuju jalan keselamatan. Dengan berlalunya waktu, masyarakat Ambon akhirnya memandang Islam dan Kekristenan pada dasarnya sebagai variasi dari kepercayaan yang sama. Kepercayaan ini diekspresikan dalam pantun yang terkenal:
Slam dan Serani Pegang tangan-tangan ramai-ramai.
Dalam terjemahan bebas, pantun tersebut berarti “Muslim dan Kristen, berpegangan tangan, bergembira ria”, atau lebih bebasnya, “Selama Muslim dan Kristen terikat bersama, hidup jadi sangat menyenangkan”.Kepercayaan ini akhirnya menjadi dasar persatuan dan identitas masyarakat Ambon Muslim-Kristen, yang berkembang menjadi semacam agama etnis yang dirayakan sebagai keunikan masyarakat Ambon, sementara pada saat yang sama memberi kesempatan bagi kedua kelompok Muslim atau Kristen untuk khusyuk dalam kepercayaan masing-masing.
2. Pela: Wadah Agama Nunusaku
Agama Nunusaku adalah sistem kepercayaan tradisional pra-Muslim dan pra-Kristen yang didasarkan pada pemujaan leluhur. Setelah beralih kepada Islam atau Kekristenan, kedua pihak masyarakat sebagian besar melanjutkan cara hidup menurut hukum dan kebiasaan (adat) yang ditetapkan atas dasar kepercayaan mistik di masa lalu oleh leluhur mereka.(Bartels 1977: 316)
Agama Nunusaku tidak memiliki struktur organisasi formal, tanpa pemimpin agama, tanpa tempat ibadah khusus, dan sebagian besar masyarakat tidak menyadarinya.Pela kemudian menjadi wadah Agama Nunusaku yang menjadi sesuatu yang sakral bagi masyarakat Ambon.Pela adalah suatu mata rantai penghubung yang terkuat antara masyarakat Muslim dan Kristen.Pela adalah satu-satunya lembaga tradisional yang mengharuskan adanya kontak teratur antara dua kelompok di tingkat desa dan dalam pela, inti persaudaraan diuji secara berkala.Ketika sebuah desa Muslim membantu kelompok Kristen anggota pela, atau sebaliknya, bantuan ini juga merupakan pernyataan komitmen, tidak hanya kepada sekutu utama seseorang, tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan masyarakat Ambon.Penyerahan sebuah mesjid oleh desa Kristen Hatu kepada Muslim Wakasihu (keduanya di Pulau Ambon), misalnya, bergema ke pulau lainnya.Masyarakat Muslim dan Kristen di mana pun melihat tindakan ini sebagai suatu penegasan ikatan kebersamaan mereka.
Pela dan Kegagalan Perdamaian
Seruan pemulihan ketertiban yang diperintahkan oleh militer Indonesia tidak dipedulikan. Tidak satu pun pihak yang percaya kepada kekuatan militer, yang dipandang sebagai bagian masalah dan bukan penyelesaian; kedua kelompok menyatakan bahwa para tentara membela salah satu kelompok yang beragama sama dengan mereka. Seperti yang kita lihat, pemimpin politik dan pemimpin agama keduanya telah kehilangan pamor di depan masyarakat umum dan, tidak mengherankan bahwa seruan mereka untuk perdamaian dan rekonsiliasi tetap tidak dihiraukan. Tiba-tiba ada pembicaraan tentang “Pela Gandong” tetapi bukan dalam konteks kekerabatan tradisional antara desa-desa Muslim dan Kristen tertentu.Sebaliknya, dan anehnya “Pela Gandong” menjadi semacam perjanjian mistis tentang persaudaraan yang meliputi semua orang Ambon Muslim dan Kristen.Gagasan “Pela Gandong” ini segera ditangkap oleh media di seluruh dunia.Masalahnya, dari dulu tidak pernah ada hubungan seperti pela ini yang mempersatukan dua kelompok agama selain di tingkat desa. Secara tradisional orang Muslim dan Kristen yakin bahwa dalam konteks dan kerangka kepercayaan Nunusaku, mereka adalah “gandong,” yaitu, secara harafiah diterjemahkan sebagai “berasal dari rahim yang sama,” sehingga mereka percaya memiliki leluhur yang sama.
Namun demikian adanya keyakinan bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama tidak berarti ada berbagai hak dan kewajiban di antara dua kelompok agama hanya sebagai hubungan kekerabatan atas dasar keturunan antara suku/marga dari desa-desa yang berbeda dan sama sekali tidak ada komitmen di antara anggotanya. Komitmen ini hanya berlaku jika ikatan persaudaraan berdasarkan asal keturunan ini kemudian diresmikan sebagai “pela gandong” melalui upacara adat, lengkap dengan sumpah kesetiaan dan kepatuhan, di antara desa-desa yang bersangkutan. Formalisasi perjanjian seperti ini di antara seluruh masyarakat Ambon di Maluku Tengah tidakpernah terjadiC oleh karena itu tidak ada hubungan kekerabatan pela yang putus dalam kasus di Ambon ini.
Ikatan kekerabatan pela tradisional hanya berlaku di tingkat desa dan masing-masing perjanjian pela memiliki masa berlaku sendiri-sendiri, terpisah dari segala perjanjian yang lain, bahkan dari segala perjanjian lain di desa tertentu. Oleh karena itu pengaruh perjanjian pela terhadap politik pemerintahan, agama, dan ekonomi di luar tingkat desa kecil sekali. Yang penting adalah bahwa setiap orang Ambon yang berasal dari desa yang memiliki hubungan pela dan apakah perjanjian ini juga mencakup atau tidak desa yang penduduknya beragama lain, sebagian besar penduduk menganut ajaran persaudaraan Muslim-Kristen yang diajarkan dalam kepercayaan Nunusaku dan merayakannya dalam upacara-upacara pela. Dengan kata lain, konsep pela lebih penting daripada perjanjian itu sendiri. Karena sebagian besar orang Ambon yang tinggal di Kota Ambon bangga menelusuri nenek-moyang mereka di kampung halamannya, seperti masyarakat yang tinggal di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan di Belanda dan Amerika Serikat, mereka juga menganut paham pela untuk menjalin keharmonisan agama yang berbeda- beda.
Suatu kesalahpahaman umum tentang pela adalah bahwa anggota di dalam suatu ‘pela’ akan segera membantu anggota lainnya yang diserang. Konsep ini, paling tidak dalam jaman modern ini jarang sekali terjadi.39 Jauh sebelum kekerasan yang sekarang terjadi, ketika pertikaian antardesa yang bersekutu dengan desa tetangga terjadi, umumnya desa-desa sekutunya tidak ikut campur tetapi berusaha tetap netral. Tampaknya, inilah yang dilakukan oleh desa Haria selama terjadi perkelahian awal antara pela Muslim mereka dengan teman mereka Sirisori Islam dan desa-desa Kristen sekitarnya, walaupun penduduk Haria yang tinggal di Kota Ambon diserang oleh Muslim. Rumor yang muncul kemudian menyebutkan bahwa penduduk Haria dan Sirisori Islam saling berperang tetapi waktu itu pertikaian telah meluas menjadi perang agama.
Jika adat dan kepercayaan orang Ambon tidak dihancurkan secara sistematis seperti yang telah dibahas sebelumnya, dan penduduk di kedua belah pihak tetap menganggap diri mereka yang terutama adalah sebagai orang Ambon dan kemudian baru Muslim atau Kristen, saya yakin konsep pela dapat mempengaruhi, paling sedikit untuk menenangkan pertikaian yang ada. Orang Ambon Muslim tetap merasa memiliki hubungan darah dengan orang Ambon Kristen dan mungkin bereaksi sama terhadap kelompok yang bukan orang Ambon, dengan cara yang sama dalam hal sikap negatif orang Kristen terhadap kaum pendatang iniByang memang sering terjadi pada tahun 1970-an. Paling sedikit mereka tetap netral atau bertindak menjadi mediator antara orang Ambon Kristen dan orang Muslim yang bukan asli Ambon.
Orang Ambon terpelajar saat ini, kebanyakan Kristen, tampaknya pelan-pelan menyadari kerusakan yang terjadi akibat kehancuran adat.Ada satu kelompok Yayasan Sala Waku, yang berusaha “untuk menghidupkan kembali organisasi dan fungsi lembaga-lembaga desa tradisional”.Secara teoritis hal ini mungkin bisa dilakukan karena pemerintah pusat telah mencabut peraturan yang mengharuskan penerapan model desa di Maluku.Namun, sistem kepercayaan tradisional telah terluka dan hampir mati.Sangat diragukan apakah sistem kepercayaan tradisional ini bisa dihidupkan lagi.Kebijaksanaan pada leluhur yang diajarkan telah hilang dan digantikan oleh ajaran Muhamad dan Yesus dan penduduk di desa-desa yang beruntung bebas dari kehancuran struktur adat tidak mungkin mempertaruhkan diri mereka. Jika memang ada tindakan ke arah kembali ke sistem adat – usaha-usaha ini justru akan menyebabkan lebih banyak konflik dan keresahan, tetapi saat ini hanya akan berlangsung di kalangan masyarakat desa dan antara agama-agama mereka sendiri.
Referensi :



Tugas kelompok
Resolusi Konflik Tradisional Di Ambon (Maluku)
Dengan Mekanisme Pela
Di
s
u
s
u
n
Oleh
Anggota :
Nurinda sari/441006094
Eti trisnawati/
Yessi rosmelia/



Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah
Universitas Islam Negeri Ar-Ranniry

2013/2014

No comments: