Resolusi Konflik Tradisional Di
Ambon (Maluku) DenganMekanisme Pela
“Sistem budaya Pela-Gandong merupakan ikatan persahabatan dan
persaudaraan yang diaktualisasikan dalam sapaan-sapaan kekerabatan, seperti
Nyong Pee, Nona Pee, Gandongee, Bongsoee, ataupun aktivitas tolongmenolong
dalam keadaan aman ataupun kesusahan,” ujar S.H. Maelissa, Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku, dalam makalahnya, “Pela dan Gandong
sebagai Bentuk Kearifan Lokal di Maluku”.
Menurut Maelissa, larangan dan kewajiban di antara warga yang
ber-pela dan ber-gandong itu dipelihara dan ditaati dengan penuh tanggung jawab
karena didasari adanya penghormatan atas janji dan sumpah leluhur yang telah
mengikat dirinya, keluarga, bahkan negeri. Pada waktu-waktu tertentu ada
Upacara Panas Pela atau Panas Gandong, yaitu upacara adat perekat hubungan
persaudaraan, yang berusaha terus menghidupkan ingatan-ingatan tentang
kebersamaan di antara mereka.
Khususnya
Ambon, Uliase, dan Seram mengenal jenis Pela Tuni dan Gandong. Pela Tuni
diartikan sebagai “Pela Murni” atau Pela sebenarnya. Pela Tuni terbentuk dengan
mengambil sumpah persaudaraan melalui minum darah dari pemimpin-pemimpin
negeri/desa. Melalui upacara itu, kedua belah pihak menjadi saudara sedarah dan
diharuskan saling membantu seolah-olah mereka lahir dari satu ibu.
Sejarah Sistem Kekerabatan Maluku
Sebagian kekerabatan antardesa bermula sejak lama, jauh sebelum
bangsa Eropa menduduki Kepulauan Maluku untuk mencari cengkeh dan pala. Sistem
ini kemungkinan dimulai sebagai suatu sistem kekerabatan dalam konteks
pengayauan, tetapi selama Portugis dan Belanda merebut wilayah ini pada abad
ke-16 dan ke-17, sistem ini dimanfaatkan untuk menahan pengacau asing, dan
untuk saling membantu jika perlu. Sebenarnya, ada beberapa bagian pakta
perjanjian pela yang ada saat ini diciptakan pada masa itu, yang sering
mengikat desa-desa Muslim bersama dengan desa-desa (yang baru menjadi)
Kristen.Banyak pela baru yang kemudian timbul saat perjuangan berat melawan
penjajahan Belanda, yaitu perang Pattimura pada awal abad ke-19.Setelah
perjuangan ini berakhir dan wilayah ini mengalami tekanan ekonomi, pela
dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh akses terhadap bahan pangan di mana
banyak desa Ambon-Lease menetapkan ikatan dengan desa-desa yang kaya sagu di
Seram Barat.Pada tiga dekade pertama pemerintahan Indonesia, pela masih sangat
kuat, terutama sebagai pembawa identitas Maluku dalam negara kesatuan Indonesia
dan juga untuk pembangunan desa lebih lanjut tanpa bantuan pemerintah.
Distribusi fakta
Perjanjian Pela
Kekerabatan pela dibuat antara dua desa atau lebih dan, dalam
beberapa kasus yang jarang, antara suku/marga dari desa-desa yang
berbeda.Kecuali di pegunungan Leitimor di Pulau Ambon, di mana beberapa
desa-desa yang bertetangga diikat dalam pakta perjanjian tersebut, desa
sekutunya dalam ikatan pela biasanya tinggal jauh terpisah dan sering terletak
di pulau yang berbeda.Hampir semua aliansi pela berlangsung antara desa-desa
Kristen tetapi sejumlah lainnya antara desa-desa Kristen dan Muslim, sehingga
jangkauannya melampaui batas-batas agama.Pela yang benar-benar Muslim tidak
ada.Kebalikan dari Kristen yang menggunakan kesamaan adat daripada kesamaan
agama mereka untuk mendirikan ikatan formal antara desa-desa, Muslim
menempatkan diri seluruhnya sebagai bagian dari masyarakat Islam (ummat)
sehingga tidak merasa perlu untuk lebih memperkuat ikatan di antara
mereka.Namun, ada juga beberapa pela, yang seluruhnya berdasarkan ikatan
keturunan keluarga, melibatkan beberapa desa Kristen dan Muslim dan dalam kasus
ini desa-desa Muslim yang terlibat saling menganggap dirinya sebagai mitra
pela.
Tipe Pela
Jumlah ikatan kekerabatan setiap desa tidak terbatas, tetapi
kebanyakan desa hanya memiliki satu atau dua fakta perjanjian, dan beberapa desa kampung
tradisional di sepanjang pantai bagian dalam Pulau Ambon, dan juga beberapa
desa yang lebih baru, tidak memilikinya sama sekali. Jika sebuah desa memiliki
ikatan ganda, setiap pakta perjanjian diperlakukan sebagai unit terpisah.Pada
dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) (pela gandong atau
bungso) dan (3) pela tempat sirih. Pela keras bermula karena adanya peristiwa
besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah,
pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh
satu desa kepada desa lain. Jenis pela kedua didasarkan pada ikatan keturunan
keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda
mengklaim memiliki leluhur yang sama. Hal ini dapat mengarah pada kesimpulan
sebuah pakta perjanjian antara desa-desa yang memiliki asal-usul suku/marga
yang sama. Pada tahap ini, tali kekerabatan diteruskan kepada setiap orang di
desa-desa yang kemudian bersekutu. Pela tempat sirih dihasilkan setelah
peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian
kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini juga
dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan. Untuk semua maksud dan tujuan,
pela keras dan pela keturunan berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya
dihasilkan melalui sebuah sumpah kuat yang disertai dengan sanksi kutukan bagi
setiap calon pelanggar perjanjian. Para peserta kemudian meminum ramuan
campuran tuak dan darah yang diambil dari pemimpin dari dua kelompok, setelah
pencelupan senjata-senjata dan benda tajam lain ke dalamnya. Benda-benda ini
akan melawan dan membunuh setiap pelanggar. Pertukaran darah menandakan ikatan
persaudaraan tersebut.Oleh karena itu pela dipahami sebagai suatu ikatan
persaudaraan yang abadi dan tak dapat diganggu gugat antara semua orang dari
desa-desa yang menjadi anggotanya.
Fungsi Modern Pela
Ada empat ide utama yang mendasari pela, yaitu: (1) desa-desa dalam
hubungan pela saling membantu dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam
seperti gempa bumi, gelombang pasang, atau kelaparan); (2) jika dibutuhkan,
satu desa mitra ini harus membantu yang lain dalam menangani proyek besar
masyarakat, seperti membangun gereja, mesjid dan sekolah; (3) saat seseorang
mengunjungi desa pela lain, pengunjung ini berhak mendapat makanan dan mereka
tidak perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian
sehingga mereka dapat membawanya pulang; dan (4) semua anggota desa yang
termasuk dalam hubungan pela diperlakukan sebagai satu darah; oleh sebab itu,
perkawinan antara anggota pela disebut sebagai perkawinan sedarah. Setiap
pelanggaran terhadap peraturan ini dihukum berat oleh para leluhur yang
mendirikan lembaga ini. Hukuman ini berupa datangnya penyakit, kematian dan
kesialan lain yang akan menimpa para pelanggar, atau bahkan terhadap
anak-anaknya. Mereka yang melanggar tabu perkawinan, jika tertangkap akan
diarak keliling desa-desa masing-masing dengan hanya mengenakan daun kelapa,
dan warga desa memperlakukan mereka dengan kejam. Sebaliknya, pela tempat sirih
dihasilkan tanpa sumpah dan hanya bersama-sama bertukar dan mengunyah sirih,
suatu kebiasaan tradisional dalam membangun hubungan persahabatan antara orang
asing.16 Pela tempat sirih kemudian menjadi pakta perjanjian hubungan ersahabatan.Perkawinan
diijinkan terjadi di antara mereka dan pemberian bantuan dilakukan sukarela,
dan tidak diberikan sanksi oleh leluhur.
Upacara Pembaharuan Pela
Untuk menjaga agar pela tetap hidup, dan untuk membuat kaum muda
peduli tentang tanggung jawab mereka, dilakukan pembaharuan secara berkala
melalui upacara bikin panas pela.Pada kesempatan ini, penduduk semua desa
anggota pela berkumpul menjadi satu sampai selama satu minggu untuk merayakan
kesatuan mereka dan mempembarui aruan sumpah mereka, yang disertai pesta makan,
bernyanyi, dan menari.
Peran
Penting Pela pada Masa Pasca Kemerdekaan
1.
Pela sebagai Kekuatan Pemersatu
Seperti diuraikan di atas sistem pela ini masih berjalan sangat baik
di Maluku Tengah sejak akhir Perang Dunia II sampai sekitar tahun 1980-an.
Usaha Pemerintah Indonesia untuk melakukan sentralisasi politik dan
penyeragaman budaya sejak kemerdekaan menimbulkan rasa kekhawatiran akan
hilangnya identitas etnis masyarakat Ambon yang khas. Kalangan Muslim maupun
Kristen menjadi sangat sadar akan ancaman berlanjutnya polarisasi agama
terhadap kesatuan Muslim- Kristen. Sementara politikus di kota berjuang memperebutkan
kemewahan yang ditawarkan oleh sistem baru, masyarakat di tingkat bawah
bereaksi terhadap ancaman ganda yaitu kehilangan identitas dan perpecahan
sosial dengan memperbarui peranan pela, di mana jaringan yang erat dan
menjangkau seluruh pulau dan batas agama yang secara tradisional selama ini
merupakan pendorong utama integrasi. Insentif ekonomi yang semula ada, yang
didasarkan pada prinsip saling membantu, lebih membantu menguatkan hubungan
antaragama.
Banyak kebiasaan dan kelembagaan lain di Maluku Utara tidak jauh
berbeda dengan yang ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia, tetapi sistem
kekerabatan pela merupakan suatu keunikan sehingga berkembang menjadi satu ciri
identitas inti, menyimbolkan identitas orang Ambon maupun kesatuan Muslim-Kristen.
Oleh karena itu pela memuat aura kesucian di kalangan masyarakat umum, terutama
di desa-desa.Sementara sebagian besar adat tradisional banyak yang runtuh, pela
mengalami kebangkitan besar dan menjadi lembaga adat yang batasan dan
peraturannya paling dipatuhi. Banyak kalangan intelektual di kota, dan bahkan
beberapa politikus, juga memegang nilai-nilai pela dalam menjaga perangkat
otonomi budaya dan kesatuan etnis.
2.
Intensitas Hubungan
Muslim-Kristen
Akibat berbagai perkembangan di atas, sejumlah pela persahabatan
baru antara Muslim dan Kristen dibentuk selama dekade ini, dengan alasan untuk
mempererat ikatan kerjasama saling menguntungkan dan tanggung jawab antara dua
kelompok agama, dan mengurangi potensi perpecahan sampai minimal. Dalam kasus
yang sama, ikatan pela yang ada, yang diciptakan beberapa abad yang lalu,
kembali diaktifkan setelah lama sekali terhenti, dan/atau semakin intensif jika
pela masih aktif, melalui upacara pembaharuan pela untuk menguatkan lagi
kesatuan dan identitas orang Ambon.
Karena adanya sistem pela, setiappotensi permusuhan antara orang
Ambon Muslim danKristen dipertahankan pada tahap minimum, berlawanan dengan
konflik saling bunuh yang umum di antara penganut kedua agama ini di seluruh
dunia.Pada tingkat praktis, ada peningkatan ekonomi yang jelas dengan banyaknya
gereja, mesjid dan sekolah yang dibangun dengan bantuan sukarela anggota pela
yang menyumbangkan tenaga kerja, bahan-bahan bangunan, uang dan/atau bahan
pangan yang memungkinkan sehingga semua dapat berjalan tanpa bantuan
pemerintah.Setelah proyek selesai, anggota pela datang untuk meresmikannya,
dan, dalam kasus pembangunan gereja atau mesjid, baik Kristen dan Muslim turut
hadir bersama untuk acara tersebut.
Ketuhanan
Yang Maha Esa: Agama Etnis Masyarakat Ambon
1.
Sinkretisme Kepercayaan
Pribumi, Muslim, dan Kristen
Asas umum adat orang Ambon Islam dan Kristen menjadikan kedua agama
kelihatan sangat mirip dan mendukung untuk mengaburkan perbedaan yang ada di
mata masyarakat Ambon.Karena tidak menganggap penting dogma dan ideologi yang
menjadi sumber permusuhan historis antara Muslim dan Kristen di manapun maka
masyarakat Ambon relatif tidak dipengaruhi olehnya, atau bahkan mengabaikannya
dan tanpa prasangka merasa, dan menekankan, banyaknya kemiripan antara kedua
agama. Penekanan pada kemiripan ini mengarah pada usaha mencapai keharmonisan,
sehingga tercipta semacam sinkretisme “horisontal” yang longgar antara Islam
dan Kekristenan yang saling kontradiksi tetapi berhubungan dengan sinkretisme
“vertikal” yang dihasilkan dari usaha-usaha dalam mencapai keharmonisan antara
sistem kepercayaan tradisional dan antara kepercayaan ini dengan Islam dan
Kekristenan.
Masyarakat Ambon percaya bahwa mereka semua berasal dari gunung yang
sakral di Pulau Seram, bernama Nunusaku.Suatu pertikaian besar terjadi dan
penduduk asli terpecah dan menghuni Maluku Tengah.Setelah datangnya dua agama
dunia, surga bagi masyarakat Muslim dan Kristen dipindahkan ke G. Nunusaku, dan
tempat ini ditetapkan sebagai pusat asal-usul masyarakat Ambon. Upu Lanite,
dewa pencipta tradisional, akhirnya disamakan dengan Allah, nama yang digunakan
oleh kedua kelompok untuk Tuhan dalam Alquran dan Tuhan dalam Alkitab. Jadi,
hanya ada satu Tuhan di mana Islam dan Kekristenan dilihat sebagai dua
alternatif tetapi sama-sama menuju jalan keselamatan. Dengan berlalunya waktu,
masyarakat Ambon akhirnya memandang Islam dan Kekristenan pada dasarnya sebagai
variasi dari kepercayaan yang sama. Kepercayaan ini diekspresikan dalam pantun
yang terkenal:
“Slam dan Serani
Pegang tangan-tangan ramai-ramai.”
Dalam terjemahan bebas, pantun tersebut berarti “Muslim dan Kristen,
berpegangan tangan, bergembira ria”, atau lebih bebasnya, “Selama Muslim dan
Kristen terikat bersama, hidup jadi sangat menyenangkan”.Kepercayaan ini
akhirnya menjadi dasar persatuan dan identitas masyarakat Ambon Muslim-Kristen,
yang berkembang menjadi semacam agama etnis yang dirayakan sebagai keunikan
masyarakat Ambon, sementara pada saat yang sama memberi kesempatan bagi kedua
kelompok Muslim atau Kristen untuk khusyuk dalam kepercayaan masing-masing.
2. Pela: Wadah Agama
Nunusaku
Agama Nunusaku adalah sistem kepercayaan tradisional pra-Muslim dan
pra-Kristen yang didasarkan pada pemujaan leluhur. Setelah beralih kepada Islam
atau Kekristenan, kedua pihak masyarakat sebagian besar melanjutkan cara hidup
menurut hukum dan kebiasaan (adat) yang ditetapkan atas dasar kepercayaan
mistik di masa lalu oleh leluhur mereka.(Bartels 1977: 316)
Agama Nunusaku tidak memiliki struktur organisasi formal, tanpa
pemimpin agama, tanpa tempat ibadah khusus, dan sebagian besar masyarakat tidak
menyadarinya.Pela kemudian menjadi wadah Agama Nunusaku yang menjadi sesuatu
yang sakral bagi masyarakat Ambon.Pela adalah suatu mata rantai penghubung yang
terkuat antara masyarakat Muslim dan Kristen.Pela adalah satu-satunya lembaga
tradisional yang mengharuskan adanya kontak teratur antara dua kelompok di
tingkat desa dan dalam pela, inti persaudaraan diuji secara berkala.Ketika
sebuah desa Muslim membantu kelompok Kristen anggota pela, atau sebaliknya,
bantuan ini juga merupakan pernyataan komitmen, tidak hanya kepada sekutu utama
seseorang, tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan masyarakat
Ambon.Penyerahan sebuah mesjid oleh desa Kristen Hatu kepada Muslim Wakasihu
(keduanya di Pulau Ambon), misalnya, bergema ke pulau lainnya.Masyarakat Muslim
dan Kristen di mana pun melihat tindakan ini sebagai suatu penegasan ikatan
kebersamaan mereka.
Pela dan Kegagalan Perdamaian
Seruan pemulihan ketertiban yang diperintahkan oleh militer Indonesia
tidak dipedulikan. Tidak satu pun pihak yang percaya kepada kekuatan militer,
yang dipandang sebagai bagian masalah dan bukan penyelesaian; kedua kelompok
menyatakan bahwa para tentara membela salah satu kelompok yang beragama sama
dengan mereka. Seperti yang kita lihat, pemimpin politik dan pemimpin agama
keduanya telah kehilangan pamor di depan masyarakat umum dan, tidak
mengherankan bahwa seruan mereka untuk perdamaian dan rekonsiliasi tetap tidak
dihiraukan. Tiba-tiba ada pembicaraan tentang “Pela Gandong” tetapi bukan dalam
konteks kekerabatan tradisional antara desa-desa Muslim dan Kristen
tertentu.Sebaliknya, dan anehnya “Pela Gandong” menjadi semacam perjanjian
mistis tentang persaudaraan yang meliputi semua orang Ambon Muslim dan
Kristen.Gagasan “Pela Gandong” ini segera ditangkap oleh media di seluruh
dunia.Masalahnya, dari dulu tidak pernah ada hubungan seperti pela ini yang
mempersatukan dua kelompok agama selain di tingkat desa. Secara tradisional
orang Muslim dan Kristen yakin bahwa dalam konteks dan kerangka kepercayaan
Nunusaku, mereka adalah “gandong,” yaitu, secara harafiah diterjemahkan sebagai
“berasal dari rahim yang sama,” sehingga mereka percaya memiliki leluhur yang
sama.
Namun demikian adanya keyakinan bahwa mereka berasal dari leluhur
yang sama tidak berarti ada berbagai hak dan kewajiban di antara dua kelompok
agama hanya sebagai hubungan kekerabatan atas dasar keturunan antara suku/marga
dari desa-desa yang berbeda dan sama sekali tidak ada komitmen di antara
anggotanya. Komitmen ini hanya berlaku jika ikatan persaudaraan berdasarkan
asal keturunan ini kemudian diresmikan sebagai “pela gandong” melalui upacara
adat, lengkap dengan sumpah kesetiaan dan kepatuhan, di antara desa-desa yang
bersangkutan. Formalisasi perjanjian seperti ini di antara seluruh masyarakat
Ambon di Maluku Tengah tidakpernah terjadiC oleh karena itu tidak ada hubungan
kekerabatan pela yang putus dalam kasus di Ambon ini.
Ikatan kekerabatan pela tradisional hanya berlaku di tingkat desa
dan masing-masing perjanjian pela memiliki masa berlaku sendiri-sendiri,
terpisah dari segala perjanjian yang lain, bahkan dari segala perjanjian lain
di desa tertentu. Oleh karena itu pengaruh perjanjian pela terhadap politik
pemerintahan, agama, dan ekonomi di luar tingkat desa kecil sekali. Yang
penting adalah bahwa setiap orang Ambon yang berasal dari desa yang memiliki
hubungan pela dan apakah perjanjian ini juga mencakup atau tidak desa yang
penduduknya beragama lain, sebagian besar penduduk menganut ajaran persaudaraan
Muslim-Kristen yang diajarkan dalam kepercayaan Nunusaku dan merayakannya dalam
upacara-upacara pela. Dengan kata lain, konsep pela lebih penting daripada
perjanjian itu sendiri. Karena sebagian besar orang Ambon yang tinggal di Kota
Ambon bangga menelusuri nenek-moyang mereka di kampung halamannya, seperti
masyarakat yang tinggal di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan di
Belanda dan Amerika Serikat, mereka juga menganut paham pela untuk menjalin
keharmonisan agama yang berbeda- beda.
Suatu kesalahpahaman umum tentang pela adalah bahwa anggota di dalam
suatu ‘pela’ akan segera membantu anggota lainnya yang diserang. Konsep ini,
paling tidak dalam jaman modern ini jarang sekali terjadi.39 Jauh sebelum
kekerasan yang sekarang terjadi, ketika pertikaian antardesa yang bersekutu
dengan desa tetangga terjadi, umumnya desa-desa sekutunya tidak ikut campur
tetapi berusaha tetap netral. Tampaknya, inilah yang dilakukan oleh desa Haria
selama terjadi perkelahian awal antara pela Muslim mereka dengan teman mereka Sirisori
Islam dan desa-desa Kristen sekitarnya, walaupun penduduk Haria yang tinggal di
Kota Ambon diserang oleh Muslim. Rumor yang muncul kemudian menyebutkan bahwa
penduduk Haria dan Sirisori Islam saling berperang tetapi waktu itu pertikaian
telah meluas menjadi perang agama.
Jika adat dan kepercayaan orang Ambon tidak dihancurkan secara
sistematis seperti yang telah dibahas sebelumnya, dan penduduk di kedua belah
pihak tetap menganggap diri mereka yang terutama adalah sebagai orang Ambon dan
kemudian baru Muslim atau Kristen, saya yakin konsep pela dapat mempengaruhi,
paling sedikit untuk menenangkan pertikaian yang ada. Orang Ambon Muslim tetap
merasa memiliki hubungan darah dengan orang Ambon Kristen dan mungkin bereaksi
sama terhadap kelompok yang bukan orang Ambon, dengan cara yang sama dalam hal
sikap negatif orang Kristen terhadap kaum pendatang iniByang memang sering
terjadi pada tahun 1970-an. Paling sedikit mereka tetap netral atau bertindak
menjadi mediator antara orang Ambon Kristen dan orang Muslim yang bukan asli
Ambon.
Orang Ambon terpelajar saat ini, kebanyakan Kristen, tampaknya
pelan-pelan menyadari kerusakan yang terjadi akibat kehancuran adat.Ada satu
kelompok Yayasan Sala Waku, yang berusaha “untuk menghidupkan kembali
organisasi dan fungsi lembaga-lembaga desa tradisional”.Secara teoritis hal ini
mungkin bisa dilakukan karena pemerintah pusat telah mencabut peraturan yang
mengharuskan penerapan model desa di Maluku.Namun, sistem kepercayaan
tradisional telah terluka dan hampir mati.Sangat diragukan apakah sistem
kepercayaan tradisional ini bisa dihidupkan lagi.Kebijaksanaan pada leluhur
yang diajarkan telah hilang dan digantikan oleh ajaran Muhamad dan Yesus dan
penduduk di desa-desa yang beruntung bebas dari kehancuran struktur adat tidak
mungkin mempertaruhkan diri mereka. Jika memang ada tindakan ke arah kembali ke
sistem adat – usaha-usaha ini justru akan menyebabkan lebih banyak konflik dan
keresahan, tetapi saat ini hanya akan berlangsung di kalangan masyarakat desa
dan antara agama-agama mereka sendiri.
Referensi :
Tugas
kelompok
Resolusi
Konflik Tradisional Di Ambon (Maluku)
Dengan
Mekanisme Pela
Di
s
u
s
u
n
Oleh
Anggota
:
Nurinda
sari/441006094
Eti
trisnawati/
Yessi
rosmelia/

Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas
Dakwah
Universitas
Islam Negeri Ar-Ranniry
2013/2014
No comments:
Post a Comment